(Daily) Dia - Gadis Penjual Tisu yang Tak Lanjut Sekolah

Ada seorang anak kecil lulusan SMP berusia 18 tahun, ia sedang berdiri sembari menawarkan dagangan kakak ku, "silahkan kak, celana gamisnya. Boleeh dilihat-lihat dulu aja". 

Panggil saja ia Meri (nama samaran), memiliki satu kakak perempuan dan satu abang. Ibunya sudah meninggal sejak 5 bulan yang lalu, kini ia tinggal dengan bapak tiri dan abang kandungnya. Setelah SMP ia memutuskan untuk tidak lanjut sekolah, "di bully aku tu kak di SMP dulu, takut ntar di SMA juga digituin, ga tahan!", begitu jawabnya.

Saat anak seumurannya sudah mengenyam bangku SMA dan akan bersiap di bangku perkuliahan, ia dituntut oleh keadaan untuk dapat membiayai kehidupannya sendiri. Sedih, tapi itulah realita keadaan disekitar kita.

Sudah sewajarnya seorang anak akan berusaha berjuang untuk hidupnya, bukan lagi ingin mencari bapak kandungnya untuk sekedar meminta nafkah. Wong berharap sama manusia akan kecewa,  jadi mari berusaha mati-matian, begitu lebih kurang penjelasannya.

Meri ditinggal bapak kandungnya ketika masih bayi, bapak dan ibunya bercerai. Sejak saat itu, sang ibu harus menjadi single-parent untuk ketiga anaknya sekaligus tulang punggung keluarga. Abang dan kakaknya tidak ada yang sampai mengecap bangku kuliah, kakak sampai SD dan abang hanya sampai SMA.

Meri pun akhirnya tumbuh besar di jalanan, ibunya berjualan nasi uduk keliling di pagi hari, lalu mulai berjalan kaki mencari rongsokan di siang harinya. Setelah masuk SD, Meri pun akhirnya inisiatif untuk ikut bekerja, ia berjualan tisu di dekat lampu lalu lintas. Tak sedikit yang memandang sinis, teman sekolah juga ikut mengejeknya, seakan pekerjaan yang dilakoninya adalah hal yang memalukan. Sungguh miris!

Ibunya pernah jujur mengembalikan laptop yang ada di rongsokan milik seorang bapak. Kantor bapak tersebut tak jauh dari rongsokan tempat sang ibu menemukan laptop tersebut. Saking bahagianya, sang bapak pun menyantuni si Ibu dan Meri dengan memberikan pekerjaan tempat si bapak bekerja. Qadarullah sekretaris bapak tidak amanah, uang gajian ibunya Meri tak pernah diberikan, ditilap sendiri tanpa ada yang tahu. Ibunya Meri pun tak mungkin mengadu, sadar bahwa posisinya tidak membuat ia dapat komplain begitu saja. Akhirnya, si ibu pun keluar.

Sedih, tapi begitulah kisah di lapangan.

Meri belajar kejujuran dari ibunya. Semua hal yang Meri lakukan, tak lain tak bukan untuk membahagiakan ibunya. Tapi qadarullah, ibunya justru pergi meninggalkannya, karena sakit komplikasi yang diderita. Hilanglah sudah penyemangatnya. "Untuk apa aku kerja kak, kalau bukan untuk ibu", begitulah perasaannya.

Sekarang hidupnya jadi berbeda, seatap tapi masing-masing urusan. Untuk kontrakan mereka harus urunan bertiga (Meri, abang dan bapak tirinya), tidak ada ruh dalamnya - hambar begitu saja.

"Cita-cita Meri dulu apa?", tanyaku padanya

"Pramugari kak, pengen banget bisa jadi pramugari. Tapi keknya sekolahnya mahal deh", jawabnya polos.




Comments