(Sabtu, 4 Des 2021) Suasana akhir pekan merupakan sesuatu yang sangat dinantikan. Mayoritas akan menghabiskan waktunya dengan berbagai kegiatan, seperti berkumpul bersama keluarga, rehat dari akifitas belajar atau bekerja, maupun hangout dengan teman sekedar untuk bercengkrama.
Pagi itu pukul 11.30 waktu Malaysia, ku perhatikan salah satu status whatsapp kawanku ketika kuliah dulu. Sebenarnya, aku jarang memperhatikan status whatsapp, tapi entah kenapa pagi itu aku ingin membaca status kawanku.
***
"Pengen jadi diri sendiri yang mau kemana saja bisa Pengen me-time, tapi gatau kemana. Mau hibur diri sendiri sebelum nanti punya anak dua. Pengen self-reward, karna udah tau gimana struggle nya ngurus anak pertama ... ... ..."
Begitulah sepenggal status dari kawanku. Kutangkap perasaan terkukung dan ingin punya teman cerita, tanpa pikir panjang kubalas statusnya, "Apa nih pesannya untuk orang yg belum nikah Ca?" (Ca hanyalah sebuah contoh panggilan ku untuknya)
Aku kirimkan balasan itu hanya ingin memetik beberapa pelajaran dari perjalanannya, agar aku lebih memaksimalkan waktu dan mensyukuri keadaan yang nantinya tentu berbeda ketika sudah berumah tangga .
***
Tok Tok Tok
Ponsel ku pun berbunyi, ku lihat ada panggilan telpon melalui whatsapp darinya. Sambil berpikir, akhirnya ku angkat panggilannya.
Sebagai anak introvert yang lebih nyaman texting daripada calling, mengangkat telpon merupakan sebuah keberanian besar, apalagi jika sebelumnya tidak ada interaksi, maka akan sangat berpikir panjang jika ada yang menelpon.
Hal ini bukan karena malas, hanya takut jika perkataan yang nanti terlontar bisa menyinggung lawan bicara, atau jika nanti pertanyaannya terlalu mendalam. One personality detected: terlalu berhati-hati!
***
Kami berbicara panjang lebar selama lebih kurang 45 menit, menanyakan kabar satu sama lain, bernostalgia mengenai kuliah dulu, membicarakan banyak hal dan kemudian makin lama makin jelas terdengar suaranya terisak. Dia menangis.
Aku hanya bisa mendengarkan dan tetap mencoba memahami kehidupan seorang ibu rumah tangga. Awalnya aku mengira faktor hormon lah yang membuat ia sedikit sensitif, tapi mulai ku sadari bahwa ia butuh teman untuk sekedar sharing atau sekedar bercengkrama ala ibu ibu senior ketika berbelanja di warung ujung komplek.
Dia rindu teman-temannya.
Tempat tinggalnya jauh dari keramaian, dan lokasinya juga tidak padat penduduk. Tetangga pun bukan yang nempel dengan rumah, hanya tetangga yang bisa saling sapa dari kejauhan. Tidak ada tetangga sesama pengantin muda yang seumuran, adanya hanya keluarga yang sudah senior. Tentu beda feel nya.
***
Untuk ibu-ibu muda diluar sana, you have to express ur feeling when u'r burnout. Memendam hanyalah akan menjadi sebuah bom, tinggal menunggu waktu untuk meledak.
Mengontrol emosi memang perlu, tapi bukan berarti membuangnya dan berharap akan hilang begitu saja. Kalian keren dan luar biasa!
Source: Photo by Sandy Millar on Unsplash
Comments
Post a Comment